Ditulis oleh Gus Mus di Rembang, Mei 2002
Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh pesantren “Sabilul
Muttaqin” dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah yang paling menarik perhatian
masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya,
tapi dia mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah,
malah konon beberapa pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke
rumahnya setelah mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan
keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu.
“Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari
beliau sendiri,” cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya
yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. “Saya sendiri tidak
paham apa maksudnya.”
“Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa,” kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang
sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. “Matanya itu lho. Sekilas saja
mereka melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang
tersembunyi. Kalian ingat, Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang
dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar.
Waktu itu Gus Jakfar bilang, ‘Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada
yang ngelamar ya?’. Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya.”
“Kang Kandar kan juga begitu,” timpal Mas Guru Slamet. “Kalian
kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu,
‘Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup
nafas ya?’ Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal.”
“Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar,” sahut
Ustadz Kamil, “Nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang
Kandar.”
“Saya malah mengalami sendiri,” kata Lik Salamun, pemborong yang
dari tadi sudah kepingin ikut bicara. “Waktu itu, tak ada hujan tak ada angina,
Gus Jakfar bilang kepada saya, ‘Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol; dapat
proyek besar ya?’ Padahal saat itu saku saya justru sedang kemps. Dan percaya
atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang diselenggarakan Pemda
tingkat propinsi.”
“Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf?”
tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan.
“Mungkin saja,” jawab Ustadz Kamil. “Makanya saya justru takut ketemu Gus
Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu.”
***
Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama
para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di
pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau.
Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali
tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan
tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang
berbau ramalan. Ringkas kata, dia benar-benar kehilangan keistimewaannya.
“Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang
itu,” komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan. “Wah, sayang sekali! Apa
gerangan yang terjadi pada beliau?”
“Ke mana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu;”
kata Lik Salamun. “Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan
mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian berubah.”
“Tapi, bagaimanapun ini ada hikmahnya,” ujar Ustadz Kamil.
“Paling tidak, kini kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa
deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari
ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga
sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui
beliau.”
Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum’at sehabis
wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar; rombongan santri
kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan
merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena
kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was dan takut.
Setelah ngobrol ke sana kemari, akhirnya
Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan:
“Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan
sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu
latar belakang perubahan sikap sampeyan.”
“Perubahan apa?” tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. “Sikap yang
mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah.”
“Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang,”
tukas Mas Guru Slamet, “kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi
membaca, bahkan diminta pun tak mau.”
“O, itu,” kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi
dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah menyeruput
kopi di depannya, dia melanjutkan, “Ceritanya panjang.” Dia berhenti lagi,
membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja.
“Kalian ingat, saya lama menghilang?” akhirnya Gus Jakfar
bertanya, membuat kami yakin bahwa dia benar-benar siap untuk bercerita. Maka
serempak kami mengangguk. “Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya
disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng
gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200 km kea rah selatan. Namanya Kiai
Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang
kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada
beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing.”
“Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan
keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada Wali Tawakkal
itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke
tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba
ilmu beliau. Ternyata, ketika sampai di sana, hampir semua orang yang saya
jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah seharian melacak
ke sana kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk.”
‘Cobalah nakmas ikuti jalan setapak di sana itu’ katanya. ‘Nanti
nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil; terus saja nakmas menyeberang.
Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah,
kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk
yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan.
Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai
siapa tadi?’
‘Kiai Tawakkal.’
‘Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.’
“Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai
dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu.”
“Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya
menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya
yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah
saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan
Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai orang tua.
Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan
kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari
mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah.”
Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru
kemudian melanjutkan, “Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan
tgerganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang ada tanda yang jelas
sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar dan
berbunyi ‘Ahli Neraka’. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat
tanda yang begitu gambling. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat.
Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan
disegani banyak kiai yang lain, disurati sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya
mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa.
Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda
itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila!”
“Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun
secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi
keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjialan ini. Beberapa hari saya
amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal
mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan
kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat
seperti dhuha, tahajjud, witir,dsb.; mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab
besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semacamnya. Kalaupun beliau
keluar, biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau- dan ini sangat jarang
sekali- mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada
malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan
kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana
brata, kata mereka.”
“Baru setelah beberapa minggu tinggal di ‘pesantren bambu’, saya
mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal
keluar. Saya pikir, inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda
tanya yang selama ini mengganggu saya.”
“Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat Kiai keluar
dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau
pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati saya
membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh.
Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, Kiai terus berjalan dengan langkah
yang tetap tegap. Akan ke mana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam
lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya,
khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke belakang.”
“Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok.
Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan
lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak
tawa ramai sekali. Dengan bengong saya mendekati warung terpencil dengan
penerangan petromak itu. Dua orang wanita- yang satu masih muda dan yang
satunya lagi agak lebih tua- dengan dandanan yang menor sibuk melayani pelanggan
sambil menebar tawa genit ke sana kemari. Tidak mungkin Kiai mampir ke warung
ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang
suasananya saja mengesankan kemesuman ini.
‘Mas Jakfar!’ tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak
asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masyaallah, saya
hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul,
mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah.
Dengan kikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri
kiai yang saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok.
Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai Tawakkal
menyuruh orang disampingnya untuk bergeser, ‘Kasi kawan saya ini tempat
sedikit!’ Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, Kiai memperkenalkan
saya. Katanya, ‘Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh.
Cari pengalaman katanya’. Mereka yang duduknya dekat serta merta mengulurkan
tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang jauh melambaikan
tangan”.
“Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam
mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar Kiai menawari, ‘Minum kopi ya?!’ Saya
mengangguk asal mengangguk. ‘Kopi satu lagi, Yu!’ kata Kiai kepada wanita
warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. ‘Silakan! Ini namanya rondo
royal, tape goreng kebanggan warung ini! Lagi-lagi saya hanya menganggukkan
kepala asal mengangguk.”
“Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan ‘kawan-kawan’-nya
dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana
mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain
bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang beginian; bercanda dengan wanita
warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain
beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat
jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya
bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda
itu. Tiba-tiba sikap dan pandangan saya terhadap beliau berubah.”
‘Mas, sudah larut malam,’tiba-tiba suara Kiai Tawakkal
membuyarkan lamunan saya. ‘Kita pulang, yuk!’ Dan tanpa menunggu jawaban saya,
Kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua,
kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata
setelah melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang
tadi kami lalui. ‘Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!’ katanya.”
“Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya
sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang
menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai,
seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliau menoleh ke
arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai. ‘Ayo!’ teriaknya.
Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang
cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di
bawah pohon randu alas, menunggu. ‘Kita istirahat sebentar,’ katanya tanpa
menengok saya yang sibuk berpakaian. ‘Kita masih punya waktu, insya Allah
sebelum subuh kita sudah sampai pondok.’
Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara
berwibawa, Kiai berkata mengejutkan, ‘Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang
kaucari? Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kaubaca di kening
saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat
tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?’ Dingin air sungai
rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau yang menelanjangi
itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara.
‘Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau
melihat tanda “Ahli Neraka” di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah
mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena,
pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu
yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah
milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga
atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia
tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti
mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di
warung yang tadi kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat
baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat
dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa?
Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?’
Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara
sambil menepuk-nepuk punggung saya. ‘Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat
cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya
dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi;
kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap
takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri.
Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan: godaan untuk
takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan
kelebihan itu diakui oleh banyak pihak’
Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan
pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui.
‘Ayo kita pulang!’ tiba-tiba Kiai bangkit. ‘Sebentar lagi subuh.
Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.’ Saya tidak merasa diusir;
nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini.”
“Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah
tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh
berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung,
saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh
dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun
tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal.
Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya. ‘Apakah sampeyan Jakfar?’
tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan
yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. ‘Ini titipan Mbah Jogo,
katanya milik sampeyan.’
‘Beliau di mana?’ tanya saya buru-buru.
‘Mana saya tahu?’ jawabnya. ‘Mbah Jogo datang dan pergi
semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan ke mana beliau
pergi.’
Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang
telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap merupakan misteri.”
Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi
suntuk mendengarkan masih diam tercenung sampai Gus Jakfar kembali menawarkan
suguhannya.